Jalan Tunjungan, Pusat Destinasi Wisata Arek-arek Suroboyo - Blog Karya Arek Suroboyo

Selasa, 11 Juli 2023

Jalan Tunjungan, Pusat Destinasi Wisata Arek-arek Suroboyo

*Semua foto berasal dari dokumen pribadi


SURABAYA – Orang Surabaya mana yang tak kenal dengan Jalan Tunjungan? Yapjalan raya yang memiliki panjang 283 meter ini dulunya menjadi saksi bisu peristiwa perobekan bendera Belanda di hotel Yamato. Kini, Jalan Tunjungan telah mencuri perhatian penduduk Surabaya. Banyak sekali bangunan bersejarah di pinggir jalan yang sekarang digunakan sebagai kafe, penjaja makanan kaki lima dan spot foto kekinian. Warga Surabaya, terutama para pemuda, kerap datang saat malam hari untuk berjalan-jalan, berfoto atau sekedar nongkrong bersama pasangan.

Beberapa hari lalu, tepatnya sewaktu malam minggu (Sabtu, 8/7/23), saya memutuskan mengunjungi Jalan Tunjungan bersama keluarga. Seperti malam-malam sebelumnya, kondisi Jalan Tunjungan ramai oleh wisatawan. Disana, saya menemukan banyak hal menarik. Apa saja? yuk kita intip bersama sekaligus gali sejarahnya!.


Gedung Siola, Mall Perbelanjaan Pertama di Surabaya



Jalan Tunjungan memang sejak zaman penjajahan Belanda sudah menjadi salah satu dari tiga pusat segitiga perdagangan di Surabaya, yakni Jalan Tunjungan, Jalan Blauran dan Jalan Embong Malang. Begitu memasuki jalan Tunjungan, saya disuguhkan dengan pemandangan gedung megah bercat merah putih di sebelah pojok kiri. Gedung Siola namanya. Berdasarkan informasi dari Tribun Jatim, Gedung Siola pertama kali dibangun oleh investor kebangsaan Inggris yang juga pemilik perusahaan ritel besar dunia saat itu, Robert Laidlaw, pada tahun 1877. 

Awalnya, Robert memakai gedung tersebut untuk pusat jual beli grosir dan menamainya Gedung Whiteaway Laidlaw. Sayangnya di tahun 1935, bisnis Robert mengalami kebangkrutan. Gedung Whiteaway Laidlaw kemudian diambil alih seorang pengusaha Jepang dan namanya diganti menjadi toko Chiyoda yang menjual tas dan koper. Toko Chiyoda pernah populer di Surabaya, namun setelah pihak Jepang menyerah kalah kepada sekutu, toko Chiyoda pun tutup.

Sempat dipakai sebagai markas pertahanan rakyat Surabaya dari serangan sekutu yang membuat kondisi gedung rusak dan tak terurus, hingga saat tahun 1960, lima orang pengusaha mengontrak gedung ini dari Pemkot Surabaya. Mereka lalu merenovasi gedung dan membuka sebuah toko serba ada (toserba) yang diberi nama dari singkatan nama mereka berlima, SIOLA (Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Aang). Pada masanya, Gedung Siola sangat dikenal karena bisa dikatakan semacam mall pertama di Surabaya.

Tahun 1990 an, Siola mengalami kalah saing dengan pusat perbelanjaan baru yang mengakibatkan Gedung Siola bangkrut dan kembali ditutup lama. Tapi akhirnya di tahun 2015, Walikota Surabaya yang saat itu dipimpin Tri Rismaharini merombak Gedung Siola menjadi Museum Surabaya sampai sekarang.


Patung Pejuang Pemuda Genteng Kali, Surabaya

Selain Gedung Siola, saya juga melihat adanya patung pejuang yang menyambut kedatangan saya. Sesosok patung berselempang sarung, dimana posisi nya agak merunduk, tangan kanan memegang bambu runcing dan tangan kirinya mengepal ke depan, sementara wajahnya garang menunjukkan keberanian, ternyata mengandung kisah heroik.

Patung ini menggambarkan pemuda yang tinggal di daerah Genteng Kali, tak jauh dari jalan Tunjungan. Ia bernama Madun. Di depan Gedung Siola itulah, Madun telah mempertaruhkan nyawanya menghadapi serangan para serdadu Inggris. Berbekal senapan mesin, Madun melakukan perlawanan ke arah pasukan Inggris seorang diri sembari mengajak kawan-kawan seperjuangannya agar melakukan gerakan mundur. Namun, tembakan senapan mesin milik Madun langsung dibalas dengan tembakan meriam tank oleh tentara Inggris. Seketika, Madun gugur di tempat dalam kondisi hangus terbakar. Untuk mengenang jasa kepahlawanan Madun, maka dibuatlah patung pejuang tadi tepat di depan Gedung Siola.

Tak banyak yang mengetahui kisah perjuangan Madun. Tapi bagi kamu yang ingin tau cerita lengkapnya, kamu dapat membaca di buku berjudul "Surabaya Dimana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?"  karya Ady Setyawan.


Gedung-gedung Tua Beralih Menjadi Kafe dan Resto 




Saya dan keluarga mulai memasuki area Jalan Tunjungan, setelah sebelumnya mencari tempat parkir sepeda motor. Awal masuk saja, saya dapat menyaksikan begitu penuh Jalan Tunjungan diisi cafe-cafe zaman now di sepanjang sisi trotoar.  Remaja-remaja berjalan santai membawa handphone nya, sambil sesekali berfoto selfie di spot yang menurut mereka instagramable. 

Siapa yang menyangka bahwa cafe dan restoran yang ada di Jalan Tunjungan dulu merupakan gedung tua sejak zaman Belanda. Itu sebabnya, walau bangunan-bangunan tersebut telah diubah menjadi kafe, namun nuansa peninggalan Belanda tetap tidak berubah dan tidak boleh diubah.


Hotel Yamato dan Insiden Perobekan Bendera Belanda




Menyusuri ke area lebih dalam di jalan Tunjungan, saya dan keluarga berhenti sejenak di depan sebuah hotel. Jika diperhatikan, hotelnya nampak mewah, tapi tidak menghilangkan kesan klasik dan kuno. Di atas hotel, terpampang tulisan besar "Hotel Mojopahit". 78 tahun yang lalu, tanggal 19 September 1945, pernah terjadi peristiwa besar di hotel ini, tepatnya di bagian pojok kiri atas hotel.

Semua berawal dari orang-orang Belanda, dibawah kepemimpinan Victor W. Charles Ploegman, mengibarkan bendera negara Belanda di puncak Hotel Mojopahit, yang waktu itu bernama Hotel Yamato. Tentunya, tindakan mereka membuat rakyat Surabaya geram. Mereka menganggap, orang-orang Belanda sudah menghina Indonesia yang baru saja merdeka, sekaligus melecehkan bendera merah putih milik bangsa kita. 

Beberapa pemuda yang ada disana kemudian berinisiatif memanjat atap hotel untuk menurunkan bendera Belanda yang berkibar di atas Hotel Yamato. Akhirnya, salah satu diantara mereka berhasil merobek warna biru di bendera tersebut dan menjadikannya bendera Indonesia lagi. Di saat bersamaan, para rakyat yang menyaksikan dari bawah hotel memekikkan kata "Merdeka" berulang kali. Menurut kesaksian masyarakat, pemuda yang berani melakukan aksi perobekan bendera tersebut adalah Kusno Wibowo, juga dibantu Hariyono. 

Setelah insiden bersejarah ini, di tahun 1993, Hotel Yamato ditetapkan pemerintah sebagai bangunan cagar budaya. Lalu tahun 2006, Hotel Yamato diakuisisi oleh PT Sekman Wisata dan berganti nama menjadi Hotel Majapahit. Sampai sekarang, kondisi hotel cukup terawat keasliannya meski di bagian luar dan unsur interiornya telah direnovasi.


Toko Nam, Cagar Budaya yang Hanya Tersisa Temboknya

Terdapat sekitar 70 bangunan di Jalan Tunjungan, yang sebagian diantaranya sudah dijadikan bangunan cagar budaya. Salah satunya yaitu Toko Nam, letaknya berada di depan mall Tunjungan Plaza 5. Pertama kali saya melewati mall Tunjungan Plaza 5, saya tidak menyadari adanya bangunan Toko Nam. Saya hanya melihat sebuah tembok putih di pinggir trotoar yang dipasang tiang besi penopang supaya tidak ambruk. Namun ternyata, itulah bangunan Toko Nam yang masih tersisa. 

Dikutip dari Zona Surabaya Raya, Direktur Surabaya, Harritage Society Freddy H. Istanto mengatakan Toko Nam yang tinggal temboknya ini bukanlah bangunan asli, melainkan replika saja karena yang asli telah dihancurkan pada tahun 2002. Siapa yang tega menghancurkannya? tak ada yang tau pasti.

Diketahui, Toko Nam berdiri sejak tahun 1935 dengan nama awal NV Handel Maatschppij. Ketika pertama dibuka, Toko Nam menjual makanan, minuman serta barang dan kebutuhan sehari-hari. Selanjutnya, Toko Nam mulai berkembang menjadi toko serba ada (toserba) dan sempat menjadi department store terlengkap di Surabaya sebelum akhirnya dibangun mall megah (Tunjungan Plaza) dibelakangnya.


Punya Lagu Sendiri

Oh iya, Jalan Tunjangan juga memiliki lagu lho. Tentu orang Surabaya tidak asing lagi. Yap, lagunya berjudul "Rek Ayo Rek" yang diciptakan oleh Is Haryanto menggunakan bahasa Jawa dialek Suroboyoan. Lagu tersebut selalu diputar sewaktu lampu penyeberangan di Jalan Tunjungan dinyalakan, dan pernah dipopulerkan musisi Mus Mulyadi serta dicover Didi Kempot.



Walikota Surabaya saat ini, Eri Cahyadi, menetapkan Jalan Tunjungan menjadi destinasi wisata pada 21 November 2021 lalu. Beliau menamainya "Tunjungan Romansa", dimana di Jalan Tunjungan kini disediakan hiasan-hiasan mural karya anak muda sebagai tempat berfoto, aneka produk hasil UMKM, dan berbagai pertunjukan seni seperti musisi jalanan, musik patrol atau aksi pameran kreativitas dari komunitas lainnya.

Menurut Eri Cahyadi, Jalan Tunjungan mempunyai potensi besar dalam mendukung pertumbuhan ekonomi di Surabaya. Terbukti sejak diresmikannya Tunjungan Romansa, jumlah pengunjung semakin padat dan ramai terutama di malam hari. Bahkan, ada pula orang yang memanfaatkan Jalan Tunjungan sebagai tempat foto prewedding mereka, sampai stasiun TV yang datang untuk melakukan syuting film disana.

Bagi kamu yang sedang berkunjung di Surabaya, sempatkan mampir ke Jalan Tunjungan yaa!. (*)


Penulis dan pemilik blog: Alessandra Maura Raihanna

Terimakasih telah mengunjungi blog ini. Nantikan selalu update berita dari kami.